BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tentang Business Process Reengineering
2.1.1 Pengertian Business Process Reengineering
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya business process reengineering hadir sebagai salah satu solusi untuk melakukan perubahan atas proses bisnis perusahaan. Hammer dan Champy (1995) mendefinisikan bahwa business process reengineering (BPR) adalah pemikiran ulang secara fundamental dan perencanaan ulang secara radikal atas proses-proses bisnis untuk mendapatkan perbaikan dramatis dalam hal ukuran-ukuran kinerja yang penting dan kontemporer seperti biaya, kualitas, pelayaanan, dan kecepatan.
Dari definisi di atas memuat empat kata kunci utama tentang business process reengineering yaitu:
1. Fundamental
Dalam melaksanakan business process reengineering , masyarakat bisnis harus menanyakan pertanyaan yang paling mendasar tentang perusahaan mereka dan bagaimana operasinya. Business process reengineering berkonsentrasi pada apa yang seharusnya.
2. Radikal
Radikal itu sendiri berasal dari bahasa Latin “radix” yang berarti akar. Merancang ulang secara radikal berarti memulainya dari akar permasalahan bukan membuat perubahan yang seperfisial atau berkutat dengan apa yang sudah ada. Perencanaan ulang secara radikal berarti mengkesampingkan semua struktur dan prosedur yang ada san menciptakan cara yang benar-benar baru dalam menyelesaikan pekerjaan.
3. Dramatis
Business process reengineering bukanlah tentang suatu upaya untuk mencapai peningkatan secara marginal ataupun incremental, tetapi tentang pencapaian suatu lompatan besar dalam hal kinerja perusahaan.
4. Proses
Proses menjadi sangat penting dalam definisi ini sebab pada penerapannya sebagian kalangan bisnis tidak berorientasi kepada proses, mereka hanya memusatkan pada tugas-tugas, pekerjaan, orang-orang, dan struktur. Proses bisnis itu sendiri didefinisikan sebagai sekumpulan aktivitas yang meliputi satu jenis input atau lebih dan menciptakan sebuah output yang bernilai bagi karyawan.
2.1.2 Kapan Perusahaan Membutuhkan Business Process Reenginering?
Hammer dan Champy mengungkapkan bahwa ada tiga kondisi kapan perusahaan membutuhkan business process reengineering yaitu:
1. Perusahaan sedang menghadapi masalah besar
2. Perusahaan yang belum menghadapi kesulitan namun top manajemen melihat adanya kemungkinan masalah di masa depan.
3. Perusahaan yang tengah berada dalam kondisi puncak, mereka tidak memiliki kesulitan-kesulitan yang nampak, baik sekarang maupun masa depan, namun top manajemen memiliki ambisi untuk melompat jauh ke depan meninggalkan para pesaingnya.
2.1.3 Apa yang bukan termasuk Business Process Reengineering?
Terkadang, beberapa pandangan yang berkembang dalam masyarakat luas tidak sesuai dengan konsep dasar dari definisi business process reengineering. Berikut ini akan dijelaskan beberapa poin penting tentang apa saja yang bukan termasuk dalam sebuah business process reengineering:
1. Business process reengineering tidak sama dengan otomatisasi. Tidak sama antara business process reengineering dengan rekayasa ulang perangkat lunak. Rekayasa perangkat lunak hanya menghasilkan tidak lebih dari sekedar sistem komputer canggih yang mengotomatisasi proses-proses kuno.
2. Business process reengineering bukanlah restrukturisasi ataupun perampingan organisasi meskipun pada kenyataannya, business process reengineering menghasilkan organisasi yang lebih ramping. Masalah yang dihadapi oleh perusahaan bukanlah akibat dari struktur organisasi mereka tetapi struktur proses mereka. Menempatkan organisasi baru pada proses lama.
3. Business process reengineering tidak sama dengan peningkatan kualitas manajemen atau biasa disebut dengan total quality management (TQM). Peningkatan kualitas manajemen lebih menekankan pada melakukan apa yang telah dilakukan perusahaan untuk menjadi lebih baik . Namun business process reengineering mengusahaakan terobosan-terobosan baru, bukan meningkatkan proses yang telah ada namun membuangnya dan mengganti dengan sesuatu yang baru.
Dan sekali lagi pada hakikatnya business process reengineering adalah memulai lagi dengan selambar kertas kosong . Mencari permulaan model pengorganisasian yang baru yang mengakibatkan tradisi menjadi tidak berharga.
2.1.4 Business Prosess Reenginering Sebagai Langkah Perubahan
Business process reengineering hadir sebagai langkah perubahan. BPR membentuk kembali secara keseluruhan tentang praktik kerja ataupun proses bisnis perusahaan. Tidak hanya berfokus pada pembentukan ulang proses bisnis, BPR juga berfokus untuk membentuk kembali aliran informasi untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi, namun sekali lagi yang perlu digaris bawahi adalah bahwa BPR bukalah otomatisasi atas proses bisnis dengan memanfaatkan teknologi terkomputerisasi berdasarkan sistem kerja yang lama. Namun BPR memanfaatkan teknologi informasi untuk melakukan suatu proses bisnis yang benar-benar baru. BPR akan merubah secara keseluruhan organisasi dan menciptakan lingkungan kerja yang baru.
Berikut ini akan disajikan perubahan-perubahan yang akan terjadi apabilah sebuah organisasi melakukan business process reengineering:
1. Unit-unit kerja yang berubah- dari departemen fungsional menjadi tim-tim proses.
2. Pekerjaan-pekerjaan berubah- dari tugas-tugas sederhana menjadi kerja yang berdimensi banyak.
3. Peran orang-orang berubah- dari dibawah kontrol menjadi berinisiatif
4. Persiapan pekerjaan berubah- dari pelatihan menjadi pendidikan
5. Fokus ukuran-ukuran dan kompensasi bergeser-dari aktivitas ke hasil-hasil.
6. Kriteria kenaikan pangkat berubah-dari kinerja ke kemampuan
7. Nilai-nilai berubah-dari protektif menjadi produktif
8. Peran manajer berubah-dari pengawas menjadi pelatih
9. Struktur organisasi berubah dari hierarki menjadi merata
10. Eksekutif-eksekutif berubah-dari pencatat nilai menjadi pemimpin.
2.1.5 Antara Total Quality Management Dengan Business Process Reengineering
Berikut ini akan disajikan perbandingan antara total quality manajemen dengan business process reengineering menurut Davenport (1993)
Improvement (TQM) Innovation (BPR)
Level of Change Incremental Radical
Starting Point Existing Process Clean Slate
Frequency of Change One-time/Continuous One-time
Time Required Short Long
Participation Bottom-Up Top-Down
Typical Scope Narrow,within functions Broad, cross - functional
Risk Moderate High
Primary Enabler Statistical Control Information Technology
Type of Change Cultural Cultural/Structural
Berdasarkan perbandingan di atas, terlihat bahwa BPR merubah level organisasi secara radikal atau dengan kata lain BPR merubah level organisasi secara mengakar, Selain itu, BPR memulainya dengan membuka lembaran kosong untuk menciptakan proses bisnis yang baru, bukan memperbaiki proses yang ada untuk menjadi lebih baik. Perubahan yang terjadi dalam BPR hanya sekali tidak seperti TQM yang bersifat berulang untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dalam hal implementasi BPR, partisipasi bersifat top-down dengan kata lain partisipasi manajemen puncak menjadi sangat penting karena manajemen puncak mengarahkan tentang proses bisnis baru yang akan dijalankan oleh perusahaan. BPR memiliki resiko yang lebih tinggi karena melakukan perubahan secara menyeluruh. BPR juga menggunakan teknologi informasi untuk meningkatkan kinerja atas penerapan proses bisnis yang baru. Dan sekali lagi, BPR akan meninggalkan tradisi yang telah ada dalam sebuah organisasi.
2.1.6 Implementasi Business Process Reengineering
2.1.6.1 Teknik Pendekatan dalam Business Process Reenginering
Hammer dan Champy (1995) menguraikan tentang teknik pendekatan dalam business process reengineering :
1. Memilih proses untuk dilakukan reengineering
Adapun tiga kriteria yang digunakan untuk membantu menentukan pilihan:
a. Proses-proses yang sering terjadi kegagalan
b. Proses-proses penting yang memiliki dampak terhadap pelanggan perusahaan.
Perusahaan akan menemukaan isu-isu terkait dengan pelanggannya, kemudian dari isu tersebut dapat dihubungkan dengan proses-proses yang paling mempengaruhi sebagai bantuan untuk menciptakan daftar prioritas proses yang perlu dilakukan reengineering.
c. Proses-proses yang layak
Mempertimbangan serangkaian faktor yang menentukan kemungkinan suatu upaya reengineering akan berhasil
2. Memahami proses
Dalam pendekatan ini, reengineering team harus mengetahui tentang proses yang ada, apa yang dikerjakan, bagaimana kinerja dari proses tersebut, dan isu-isu penting yang menentukan kinerjanya. Namun yang harus selalu diingat adalah bahwa tujuan dari reengineering bukanlah memperbaiki proses yang ada sehingga reengineering team tidak perlu melakukan analisis dan mendokumentasikan proses untuk membongkar semua rinciannya. Memahami proses bertujuan agar reengineering team memiliki pandangan yang lebih luas, pemahaman yang baik dan daya intuisi yang tinggi sehingga dapat menciptakan rancangan baru yang benar-benar baru dan unggul.
3. Mencari Panutan
Dalam hal ini, mencari panutan berarti mencari perusahaan-perusahaan yang terbaik dalam melakukan sesuatu, dan mempelajari bagaimana melakukannya untuk berusaha menandinginya.
Sedangkan Davenport dan Short (1990) menjelaskan lima pendekatan dalam business process reengineering yaitu:
1. Mengembangkan Visi Bisnis dan Proses Tujuan
BPR didorong oleh visi bisnis yang menyiratkan tujuan bisnis tertentu seperti Pengurangan Biaya, Waktu Pengurangan, perbaikan kualitas Output, QWL / Belajar / Pemberdayaan. (Cf: Visi Shared of Senge 1990, Ikujiro & Nonaka 1995).
2. Identifikasi Proses akan dilakukan reengineering
Sebagian besar perusahaan menggunakan pendekatan High- Impact yang berfokus pada proses yang paling penting atau orang-orang yang paling bertentangan dengan visi bisnis. Namun, jumlah perusahaan menggunakan pendekatan Exhaustive yang mencoba untuk mengidentifikasi semua proses dalam organisasi dan kemudian memprioritaskan mereka dalam rangka mendesak reengineering
3. Memahami dan Ukur Proses yang ada
Untuk menghindari pengulangan kesalahan yang lalu dan untuk menyediakan dasar perbaikan di masa depan.
4. Mengidentifikasi IT
Kesadaran akan kemampuan IT dapat mempengaruhi proses reengineering.
5. Mendesain dan Membangun Prototipe Proses Baru
Desain yang sebenarnya tidak harus dilihat sebagai akhir dari proses BPR. Sebaliknya, ia harus dipandang sebagai prototipe. Metafora prototipe meluruskan pendekatan BPR dengan pengiriman hasil yang cepat, keterlibatan dan kepuasan pelanggan.
2.1.6.2 Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Business Process Reengineering
Dalam sebuah business process reengineering yang menjadi kunci atas keberhasilannya adalah bagaimana perusahaan memilih dan mengorganisasikan karyawan yang melakukan business process reengineering. Berikut ini akan disajikan pihak-pihak yang terlibat dalam business process reengineering menurut Hammer dan Champy (1995):
1. Pemimpin
Pemimpin adalah eksekutif senior yang mempunyai cukup kekuasaan untuk mempengaruhi perusahaan agar merubah apa yang telah ada dan memdesak orang-orang dalam organisasi untuk menerima perubahan secara radikal akibat penerapan business process reengineering tersebut.Peran utama dari pemimpin adalah sebagai pemberi visi dan motivasi. Menciptakan dan mengartikulasikan visi tentang jenis organisasi yang ingin diciptakan, menanamkan maksud dan dapat menjelaskan kepada setiap orang bahwa business process reengineering membutuhkan usaha yang serius dari awal sampai akhir.
2. Pemilik Proses
Pemilik proses biasanya adalah individu yang menjalankan salah satu dari fungsi-fungsi yang terlibat didalam proses yang mengalami reengineering. Pemilik proses haruslah orang yang senang dengan perubahan, bersikap toleran terhadap ketidakpastian, dan selalu tenang dalam menghadapi kesulitan. Tugas utama dari pemilik proses bukanlah melakukan reengineering namun bertindak sebagai pengawas dari business process reengineering tersebut.
3. Reengineering team
Sekelompok orang yang diberikan tanggung jawab untuk melakukan reengineering atas suatu proses tertentu, yang mendiagnosis keberadaan proses dan menyusun rancangan ulang dan implementasinya. Tim ini biasanya terdiri dari dua jenis orang didalamnya, yaitu orang dalam dan orang luar. Orang dalam adalah mereka yang bekerja dalam proses yang akan mengalami reengineering. Mereka berasal dari berbagai fungsi yang terlibat di dalam proses. Sedangkan orang luar itu sendiri berasal dari luar perusahaan yang dapat memberikan pandangan-pandangan baru dan bersifat independen seperti perusahaan perusahaan konsultan yang memiliki rekor dalam rekayasa ulang. Namun perusahaan dapat mencari kandidat dari orang luar dari dalam perusahaan, biasanya orang-orang yang berasal dari departemen rekasaya, departemen sistem informasi dan pemasaran adalah wadah bagi orang yang memiliki orientasi proses dan bakat inovatif.
4. Komite Pengarah
Komite pengarah merupakan aspek optional dalam business process reengineering. Komite pengarah itu sendiri merupakan sekelompok manajer senior terpilih,biasanya termasuk, meski tidak terikat ke dalam pemilik proses, yang merencanakan keseluruhan strategi reengineering. Pemimpin harus menjadi ketua dalam komite ini.
5. Reengineering Csar
Merupakan seorang penanggung jawab pengembangan teknik-teknik dan sasaran-sasaran reengineering dalam perusahaan serta pencapaian sinergi tiap-tiap proyek reengineering perusahaan. Kaisar mempunyai dua fungsi utama yaitu memungkinkan dan mendukung masing-masing individu pemilik proses dan reengineering team dan mengkoordinasikan semua aktivitas reengineering secara terus menerus.
Secara sederhana hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam business process reengineering tersebut adalah bahwa pemimpin menentukan pemilik proses yang membentuk reengineering team untuk melakukan business process reengineering dengan bantuan reengineering csar dan dibawah pengarahan komite pengarah.
2.1.6.3 Peran IT/IS Dalam Business Process Reengineering
Tidak dapat dipungkiri bahwa IT/IS memiliki peran tersendiri dalam business process reengineering.Namun dalam penerapan business process renginering, IT sering disalah perankan. Banyak dari organisasi yang masih menganggap bahwa otomatisasi yang dijalankan oleh IT telah menjadi bagian dari reengineering. Tindakan yang lebih fatal adalah mencari permasalahan terlebih dahulu dan melakukan penyelesaiannya dengan memanfaatkan teknologi. Kesalahan dalam penetapan peran IT akan menghambat proses reengineering dan memperkuat cara-cara berfikir dari pola-pola perilaku lama.
IT/IS memungkinkan untuk menerobos aturan-aturan yang membatasi bagaimana melakukan operasi bisnis perusahaan. Berikut ini akan disajikan beberapa peran IT/IS yang memungkinkan dalam business process reengineering:
No Aturan Lama Teknologi Disruptif Aturan Baru
1 Informasi hanya disampaikan di dalam satu tempat dan pada satu saat.
Sistem basis data untuk dipakai bersama-sama Informasi dapat muncul secara serentak dalam sebanyak mungkin tempat sesuai keperluan
2 Hanya para ahli yang dapat melaksanakan pekerjaan yang kompleks Sistem-sistem pakar Seorang generalis dapat melakukan tugas-tugas seorang ahli.
3 Perusahaan harus memilih antara sentralisasi dengan disentralisasi Jaringan telekomunikasi Perusahaan dapat sekaligus meraih keuntungan – keuntungan dari sentralisasi dan disentralisasi
4 Semua keputusan diambil oleh manager Perangkat pendukung keputusan (akses basis data, perangkat lunak untuk mengembangkan model) Pengambilan keputusan adalah bagian dari pekerjaan setiap orang.
5 Pegawai lapangan membutuhkan kantor-kantor di mana mereka dapat menerima, menyimpan, mengambil lagi, dan mengirimkan informasi. Kominikasi data tanpa kawat dan computer portable Pegawai lapangan dapat mengirim dan menerima informasi di mana saja mereka berada.
6 Kontak terbaik dengan calon pembeli adalah kontak pribadi Video disk interaktif Kontak terbaik dengan calon pembeli adalah kontak interaktif
7 Anda harus mencari tahu di mana sesuatu berada Teknologi diidentifikasi dan pelacakan otomatis Sesuatu member tahu di mana mereka berada
8 Rencana- rencana diubah secara berkala Komputasi kinerja yang tinggi Rencana-rencana diubah seketika itu juga
2.1.6.4 Keuntungan Penerapan Business Process Reengineering
Keberhasilan akan tugas berat yang dijalankan oleh organisasi dalam melakukan business process reengineering akan membawa dampak perubahan lingkungan kerja yang baru. Organisasi yang menerapkan business process reengineering akan lebih responsive akan pelanggan dan para pemegang saham, selain itu keuntungan penerapan business process reengineering adalah:
• Memeberdayakan kemampuan karyawan
• Mengeliminasi proses yang tidak efisien
• Secara signifikan dapat menurunkan biaya dan siklus produksi
• Memungkinkan perbaikan proses bisnis yang diukur dengan kualitas dan kepuasan pelanggan
• Membantu organisasi ntuk tetap berada diatas, dan melompat lebih jauh dibanding dengan para pesaingnya.
2.1.6.5 Faktor Sukses dalam Business Process Reengineering
Di bawah ini adalah faktor-faktor yang berpengaruh dalam kesuksesan business process reengineering:
1. Top Management Sponsorship
Business process reengineering akan mempengaruhi proses, teknologi, peran kerja dan budaya di tempat kerja. Perubahan yang signifikan ini ini, membutuhkan sumber daya, uang, dan kepemimpinan. Melakukan reengineering bukanlah perkara yang mudah, oleh karena itu jika manajemen puncak tidak memberikan dukungan yang kuat dan konsisten maka business process reengineering diambang kegagalan.
2. Strategic Alignment
Adanya hubungan yang jelas tentang arah bisnis secara keseluruhan dengan upaya reengineering. Hubungan ini dapat ditunjukan dengan keselarasan pada perspektif kinerja keuangan, layanan pelanggan, asosiasi (karyawan) nilai, dan visi untuk organisasi. Reengineering yang tidak sejalan dengan arah strategis perusahaan dapat menjadi kontraproduktif.
3. Compelling Business Case for Change
Adanya kemampuan untuk dapat mengkomunikasikan kasus bisnis menuju perubahan. Harus ada pemahaman yang baik tentang masalah yang dihadapi pelanggan.
4. Proven Methodology
Adanya pendekatan yang akan memenuhi kebutuhan proyek yang dipahami dan didukung oleh reengineering team
5. Effective Change Management
Manajemen Perubahan adalah disiplin mengelola perubahan sebagai suatu proses, dengan pertimbangan bahwa kita adalah orang-orang, bukan sebuah mesin yang diprogram.Ini adalah tentang kepemimpinan dengan komunikasi terbuka, jujur dan frekuensi yang sering. Semakin baik mengelolah perubahan maka semakin berkurang rasa sakit yang terjadi pada saat transisi.
6. Line Ownership Reengineering Team Composition
Peran dari reengineering team yang tersusun dari komposisi sebagai berikut:
• beberapa anggota yang tidak mengetahui proses sama sekali,
• beberapa anggota yang mengetahui proses inside-out,
• jika memungkinkan termasuk pelanggan perusahaan
• beberapa anggota yang mewakili organisasi yang terkena dampak reengineering
• satu atau dua guru teknologi yang memadai
• setiap orang terbaik dan tercerdas, bersemangat dan berkomitmen.
• beberapa anggota dari luar perusahaan.
2.1.6.6 Kesalahan Utama Menuju Kegagalan Business Process Reengineering
Menurut Hammer dan Champy (1995) bahwa hampir sebanyak 70% organisasi yang menjalankan business process reengineering tidak mendapatkan hasil-hasil dramatis seperti yang diharapkan. Dalam banyak kasus, organisasi sering melakukan kesalahan yang sama berulang kali. Berikut ini akan disajikan kesalahan utama yang mengakibatkan kegagalan dalam business process reengineering :
• Mencoba memperbaiki proses bukan mengubahnya
Banyak organisasi melakukan perubahan-perubahan proses dan kemudian menyebutnya dengan reengineering. Organisasi hanya melakukan perbaikan secara infrastruktural seperti otomatisasi yang digunakan untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan maksud untuk mengurangi jumlah hari maupun jumlah pekerja. Hal yang perlu diingat bahwa reengineering adalah membuang proses yang telah ada dan memulainya dengan yang baru.
• Tidak menitik beratkan pada proses-proses bisnis
• Mengabaikan segala hal kecuali perancangan ulang proses
• Puas memperoleh hasil-hasil yang kecil
• Begitu cepat menyerah
• Terlebih dahulu menetapkan batasan-batasan definisi masalah dan jangkauan business process reengineering
• Memungkinkan budaya-budaya perusahaan dan sikap-sikap manajemen yang ada untuk mencegah business process reengineering dari awal mulanya.
• Berusaha melaksanakan business process reengineering dari bawah ke atas
• Menujuk seseorang yang tidak mengerti reengineering untuk memimpin upaya tersebut
• Setengah-setengah dalam menyediakan sumber-sumber untuk reengineering
• Mengubur reengineering ditengah agenda-agenda perusahaan.
• Menghambur-hamburkan energi untuk sejumlah besar proyek reengineering
• Mengusahakan reengineering saat CEO kurang dua tahun lagi pension
• Gagal membedakan reengineering dengan program-program peningkatan bisnis lain.
• Secara ekslusif berkonsentrasi pada perancangan.
• Berusaha mewujudkan reengineering tanpa menyakiti hati siapapun.
• Mundur jika orang-orang menolak membuat perubahan-perubahan atas business process reengineering.
• Mengulur upaya untuk melakukan business process reengineering
Namun besarnya presentase tersebut tidak bisa menggambarkan bahwa business process reengineering merupakan usaha yang beresiko tinggi. Berhasilnya business process reengineering melibatkan peran kuat dari manajemen senior, bagaimana pemahaman dan kepemimpinan dari manajemen senior itu sendiri terhadap reengineering organisasi. Hal yang harus disadari adalah bahwa dalam business process reengineering kunci keberhasilan terletak pada pengetahuan, kemampuan, komitmen, dan strategi manajemen senior.
2.1.7 Business Process Reengineering dan Enterprise Resource Planning
Enterprise resource planning(ERP) adalah salah satu bentuk dari business process reengineering. ERP menggintegrasian fungsi-fungsi yang ada dalam sebuah perusahaan menjadi satu. Adapun beberapa keuntungan yang ditwarkan oleh ERP:
1. Untuk mengintegrasikan data keuangan sehingga top management bisa melihat dan mengontrol kinerja keuangan perusahaan dengan lebih baik
2. Menstandarkan proses operasi melalui implementasi best practice sehingga terjadi peningkatan produktivitas, penurunan inefisiensi dan peningkatan kualitas produk
3. Menstandarkan data dan informasi melalui keseragaman pelaporan, terutama untuk perusahaan besar yang biasanya terdiri dari banyak business unit dengan jumlah dan jenis bisnis yg berbeda-beda
4. Penurunan inventori
5. Penurunan tenaga kerja secara total
6. Peningkatan service level
7. Peningkatan kontrol keuangan
8. Penurunan waktu yang di butuhkan untuk mendapatkan informasi
Beberapa fakta terkait dengan Enterprise Resource Planning:
Investasi ERP sangat mahal dan pilihan ERP yang salah bisa menjadi mimpi buruk
ERP yang berhasil digunakan oleh sebuah perusahaan tidak menjadi jaminan berhasil di perusahaan yang lain
Perencanaan harus dilakukan untuk menyeleksi ERP yg tepat
Bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrim, evaluasi pilihan ERP menghasilkan rekomendasi untuk tidak membeli ERP, tetapi memperbaiki Business Process yang ada
Tidak ada ‘keajaiban’ dalam ERP software. Keuntungan yang didapat dari ERP adalah hasil dari persiapan dan implementasi yang efektif
Tidak ada software atau sistem informasi yang bisa menutupi business strategy yang cacat dan business process yang ‘parah’
Sama dengan BPR, syarat sukses memilih ERP pengetahuan dan pengalaman
Pengetahuan adalah pengetahuan tentang bagaimana cara sebuah proses seharusnya dilakukan, jika segala sesuatunya berjalan lancer
Pengalaman adalah pemahaman terhadap kenyataan tentang bagaimana sebuah proses seharusnya dikerjakan dengan kemungkinan munculnya permasalahan
Pengetahuan tanpa pengalaman menyebabkan orang membuat perencanaan yang terlihat sempurna tetapi kemudian terbukti tidak bisa diimplementasikan
Pengalaman tanpa pengetahuan bisa menyebabkan terulangnya atau terakumulasinya kesalahan dan kekeliruan karena tidak dibekali dengan pemahaman yg cukup. Kesalahan ini muncul atau terjadi karena ERP adalah sebuah best practice dari standar bisnis. Seharusnya pengetahuan pada fungsi-fungsi yang tersedia dalam aplikasi cukup tinggi sehingga tidak menerapkan (implementation) dengan cara yang keliru. Kesalaahan dalam implementasi akan menjadi masalah serius bagi usaha peningkatan kinerja usaha.
Berikut ini adalah akivitas yg sebaiknya dilakukan sebagai bagian dari proses pemilihan software ERP:
1. Analisa Strategi Usaha
• Bagaimana level kompetisi di pasar dan apa harapan dari customers?
• Adakah keuntungan kompetitif yang ingin dicapai?
• Apa strategi bisnis perusahaan dan objectives yang ingin dicapai?
• Bagaimana proses bisnis yang sekarang berjalan vs proses bisnis yang diinginkan?
• Adakah proses bisnis yang harus diperbaiki?
• Apa dan bagaimana prioritas bisnis yang ada dan adakah rencana kerja yang disusun untuk mencapai objektif dan prioritas tersebut?
• Target bisnis seperti apa yang harus dicapai dan kapan?
2. Analisa Sumberdaya Manusia
• Bagaimana komitment top management terhadap usaha untuk implementasi ERP?
• Siapa yg akan mengimplementasikan ERP dan siapa yg akan menggunakannya?
• Bagaimana komitmen dari tim implementasi?
• Apa yg diharapkan para calon user thd ERP?
• Adakah ERP champion yg menghubungkan top management dgn tim?
• Adakah konsultan dari luar yg disiapkan untuk membantu proses persiapan?
3. Analisa Infrastruktur
• Bagaimanakah kelengkapan infrastruktur yang sudah ada (overall networks, permanent office systems, communication system dan auxiliary system)
• Seberapa besar budget untuk infrastruktur?
• Apa infrastruktur yang harus disiapkan?
4. Analisa Perangkat Lunak
• Apakah perangkat lunak tersebut cukup fleksibel dan mudah disesuaikan dengan kondisi perusahaan?
• Apakah ada dukungan layanan dari penyedia, tidak hanya secara teknis tapi juga untuk kebutuhan pengembangan sistem di kemudian hari
• Seberapa banyak waktu untuk implementasi yang tersedia
• Apakah perangkat lunak memiliki fungsi yang bisa meningkatkan proses bisnis perusahaan
Berikut ini adalah ringkasan poin-poin yg bisa digunakan sebagai pedoman pada saat implementasi ERP:
• ERP adalah bagian dari infrastruktur perusahaan, dan sangat penting untuk kelangsungan hidup perusahaan. Semua orang dan bagian yang akan terpengaruh oleh adanya ERP harus terlibat dan memberikan dukungan.
• ERP ada untuk mendukung fungsi bisnis dan meningkatkan produktivitas, bukan sebaliknya. Tujuan implementasi ERP adalah untuk meningkatkan daya saing perusahaan.
• Pelajari kesuksesan dan kegagalan implementasi ERP, jangan berusaha membuat sendiri praktek implementasi ERP. Ada metodologi tertentu untuk implementasi ERP yang lebih terjamin keberhasilannya
Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan ERP:
• Waktu dan biaya implementasi yang melebihi anggaran
• Pre-implementation tidak dilakukan dengan baik
• Strategi operasi tidak sejalan dengan business process design dan pengembangannya
• Orang-orang tidak disiapkan untuk menerima dan beroperasi dengan sistem yang baru
Sedangkan kegagalan ERP biasanya ditandai oleh adanya hal-hal sebagai berikut:
• Kurangnya komitmen top management
• Kurangnya pendefinisian kebutuhan perusahaan (analisa strategi bisnis)
• Cacatnya proses seleksi software (tidak lengkap atau terburu-buru memutuskan)
• Kurangnya sumber daya (manusia, infrastruktur dan modal)
• Kurangnya ‘buy in’ sehingga muncul resistensi untuk berubah dari para karyawan
• Kesalahan penghitungan waktu implementasi
• Tidak cocoknya software dgn business process
• Kurangnya training dan pembelajaran
• Cacatnya project design & management
• Kurangnya komunikasi
• Saran penghematan yang menyesatkan
Akhirnya antara Business Process Reengineering dan Enterprise Resouce Planning memiliki satu persamaan prinsip bahwa dalam penerapannya BPR dan ERP memerlukan pengetahuan, strategi, komitmen,dan kemampuan yang baik. Sebab baik BPR ataupun ERP dilakukan untuk merubah proses yang telah ada menjadi proses bisnis baru yang dimulai dari nol guna memberikan nilai dan kepuasan bagi pelanggan yang akan berdampak pada keuntungan perusahaan.
2.2. Tentang Change Management
Perubahan menjadi salah satu bagian penting dalam organisasi bisnis. Sebuah perubahan dimaksudkan agar setiap organisasi bersifat lebih dinamis dalam menghadapi perkembangan zaman yang disebabkan oleh teknologi, perkembangan pasar, persaingan global dan sebagainya. Business process reengineering dimaksudkan untuk merubah proses bisnis yang telah ada menjadi proses bisnis yang benar-benar baru. Penciptaan proses bisnis yang benar-benar baru ini, akan membawa perubahan bagi lingkungan kerja organisasi.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada business process reengineering yang telah diuraikan sebelumnya tidak dapat dihindari oleh organisasi. Namun akibat dari perubahan ini, tidak semua elemen ataupun personil dalam organisasi dapat menerima perubahan yang terjadi. Change Management (Manajemen Perubahan) mengupayakan hal-hal yang dilakukan untuk mengelola perubahan yang terjadi dilingkungan organisasi. Pada subbab berikutnya akan diuraikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sebuah perubahan organisasi.
2.2.1 Beberapa Penyebab Penolakan Untuk Berubah
Romney (2005) menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan mengapa penolakan untuk berubah terjadi:
1. Karakteristik dan latar belakang personal
Umumnya orang yang lebih muda dan memiliki pendidikan lebih tinggi lebih mudah untuk menerima suatu perubahan.
2. Cara perubahan diperkenalkan
Penolakan sering kali merupakan sebuah reaksi dari metode-metode yang membentuk perubahan daripada reaksi atas perubahan itu sendiri.
3. Pengalaman dengan perubahan sebelumnya
Personil yang memiliki pengalaman buruk akan perubahan yang terjadi di masa lalu akan sulit diajak untuk bekerjasama atas perubahan di masa depan.
4. Dukungan dari pihak manajemen puncak
Personil yang merasakan kurangnya dukungan dari pihak manajemen puncak atas perubahan akan bertanya-tanya mengapa mereka harus menerima perubahan tersebut.
5. Komunikasi
Para personil perusahaan tidak akan mendukung perubahan kecuali jika alas an-alasan perubahan tersebut dijelaskan.
6. Bias dan penolakan alami atas perubahan
Orang-orang yang memiliki hubungan emosional atas tugas mereka atau dengan rekan kerja mereka mungkin tidak ingin berubah jika elemen-elemen tersebut terkena pengaruh.
7. Sifat merusak proses perubahan
Permintaan atas informasi dan untuk wawancara akan mengganggu dan memberikan beban tambahan ke orang-orang. Gangguan ini dapat menimbulkan perasaan negative atas perubahan yang menyebabkan gangguan-gangguan tersebut terjadi.
8. Ketakutan
Banyak orang yang merasa takut atas sesuatu yang tidak diketahui dan atas ketidakpastian yang menyertai perubahan. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan, kehilangan kehormatan atau status, takut akan kegagalan, teknologi dan otomatisasi.
Sedangkan menurut Gibson (2003) faktor yang menyebabkan orang menolak untuk berubah adalah:
1. Pandangan yang sempit tentang kepentingan pribadi
Rasa takut akan adanya perubahan yang akan menghilangkan kekuasaan diri, kebebasan untuk membuat keputusan, teman, dan martabat.
2. Kesalahpahaman dan kurangnya kepercayaan
Ketika seseorang tidak mengerti dengan baik tentang bagaimana perubahan terjadi, dan apa implikasi dari perubahan tersebut, maka akan terjadi kesalahpahan dan timbulnya ketidakpercayaan atas perubahan yang sedang dilakukan.
3. Penilaian yang berbeda
Adanya asumsi yang berbeda atas sebuah perubahan yang terjadi dalam organisasi dari setiap individu perusahaan.
4. Toleransi yang rendah untuk berubah
Orang-orang menolak untuk berubah karena mereka merasa takut tidak mampu mengembangkan bakat yang ada dengan baik setelah perubahan terjadi. Mereka mungkin sadar bahwa perubahan itu diperlukan tetapi emosional dalam diri mereka tidak dapat menerima transisi yang akan terjadi dari perubahan tersebut.
2.2.2 Reaksi Penolakan Terhadap Change of Management
Setelah diuraikan tentang alasan yang menyebabkan orang menolak untuk berubah, maka akan timbul reaksi atas penolakan tersebut. Menurut Romney (2005) reaksi terhadap penolakan atas perubahan itu sendiri dapat digolongkan menjadi tiga bagian:
1. Agresi (aggression)
Agresi adalah suatu prilaku yang bisanya dimaksudkan untuk menghancurkan, membuat cacat, atau memperlemah efektivitas dari perubahan yang sedang terjadi. Pada perubahan yang terjadi dalam lingkup teknologi, agresi dapat dilakukan dengan meningkatkan gangguan, kesalahan, dan sabotase yang disengaja.
2. Ketidakinginan (projection)
Ketidakinginan melibatkan sikap menyalahkan sistem baru untuk kejadian tidak menyenangkan apapun. Dengan kata lain mengkambing hitamkan segala sesuatu dengan sistem yang baru.
3. Penghindaran (avoidance)
Penghindaran atas perubahan yang terjadi merupakan hal umum yang ada pada sifat manusia. Dengan adanya penghindaran tersebut diharapkan perubahan yang ada akan segera dihapuskan kembali.
2.2.3 Empat Kunci Utama dalam Mengimplementasikan Perubahan
Dalam melakukan perubahan atas suatu organisasi, Luftman (2004) menguraikan empat kunci utama dalam mengimplementasikan perubahan, yaitu:
1. Leadership plus fasilitation
Pemimpin menciptakan sebuah strategi, bagaimapun juga setiap orang dalam level organisasi dibutuhkan untuk berpartisipasi menciptakan nilai dalam rencana perubahan perusahaan. Keterlibatan mereka dalam semua aspek perencanaan akan menciptakan kreatifitas, kerjasama bahkan dukungan mereka atas suatu perubahan. Tugas seorang pemimpin adalah mengkondisikan hasil dari kerterlibatan personil sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan strategi.
2. Get the right people involved
Memilih orang-orang terbaik untuk bekerja memikirkan rencana dan menjalankan strategi merupakan salah satu kunci sukses. Memfokuskan bakat dari orang-orang terbaik pada hasil proses perubahan memiliki keuntungan:
Memungkinkan adanya manfaat dimasa mendatang atas creatifitas dan inovasi mereka.
Orang-orang terbaik memberikan teladan bagi orang lain dalam lingkup organisasi.
Keuntungan proyek akan memberikan penghargaan bagi seluruh elemen organisasi berdasarkan bakat yang terlibat
Memungkinkan proyek untuk tetap pada anggaran dan tepat waktu
proses sukses menjadi model bagi orang lain untuk mengikuti
3. Team building
Memilih orang-orang terbaik untuk bekerja dalam sebuah proyek dan menggabungkan mereka dalam sebuah tim memungkinkan penerapan perubahan secara keseluruhan.
4. Secure Resource
Dalam suatu proyek perubahan masalah sumber daya merupaka faktor yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Sumber daya berkaitan dengan waktu, orang yang terlibat, serta uang. Kegagalan yang sering terjadi dalam sebuah proses perubahan adalah kurangnya perhitungan tentang sumber daya yang ada. Sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan tidak mencukupi untuk melakukan proses perubahan.
2.2.4 Meminimalisasi Penolakan Untuk Berubah Melalui Beberapa Pendekatan Dalam Mengelolah Perubahan
Penolakan dalam suatu perubahan organisasi adalah hal yang wajar dan tidak bisa dihindari. Penolakan atas perubahan yang terjadi dalam organisasi harus segera mendapatkan penanganan yang baik. Hal ini dimaksudkan agar penolakan tersebut tidak berdampak pada kegagalan perubahan. Tabel berikut ini adalah metode pendekatan yang dilakukan untuk meminimalisasikan penolakan yang terjadi atas suatu perubahan, Gibson (2003) :
No Approach Involves When Advantages Disadvantages
1 Education and Communication Explaining the need for logic of change to individual, group, and even entire organizations There is lack of information or inaccurate information and analysis Once persuade, people will often help implement the change Can be very time consuming if many people are involved
2 Participation and Involvement Asking members of organization to help design the change The initiatiors do not have all the information they need to design the change, and others have considerable power resist People who participate will be commited to implementing change, and any relevant information they have will be integrated into the change plan Can be very time comsuming if participant design and inappopriated change
3. Fasilitation and Support Offering retraining program, time off, emotional support, abd understanding to people affected by the change People are resisting because of adjustment problems No other approach works as well with adjustment problems Can be time consuming and expensive, and still fail.
4. Negotiation and Agreement Negotiating with potential resisters: even soliciting written letters of understanding. Some person or group with considerable power to resist will clearly lose out in a change. Sometimes it is a relatively easy way to avoid major resistance Can be too expensive if it alerets others to negotiate for compliance
5. Manipulation and co-optation Giving a key persons a desirable role in designing or implementing change process. Other tactics will not work or are too expensive It can be relatively quick and inexpensive solution to resistance Can lead to future problems if people feel manipulated
6 Explicit and Implicit Coercion Theatening job loss or transfer, lack of promotion, etc. Speed is essential, and the change initiators possess considerable power It is speedy and can overcome any kind of resistance Can be risky if it leaves people angry with the initiators.
Selain itu, Jeff Hiatt (1998, 2006) memperkenalkan sebuah model untuk mengelolah perubahan yang terjadi. Model tersebut dikenal dengan nama ADKAR, yang terdiri dari lima komponen penting yang menjadi salah satu kunci sukese dalam melakukan perubahan. Komponen-komponen tersebut meliputi:
1. Awareness-- Membangun kesadaran tentang mengapa perubahan diperlukan.
2. Desire-- Membuat keinginan untuk mendukung dan berpartisipasi dalam perubahan.
3. Knowledge-- Mengembangkan pengetahuan tentang bagaimana mengubah.
4. Ability-- Membina kemampuan untuk menerapkan keterampilan baru dan perilaku
5. Reinforcement-- Memberikan bantuan untuk mempertahankan perubahan.
Tidak hanya dengan pendekatan diatas, Romney (2005) menguraikan bahwa reaksi penolakan yang dilakukan oleh personil atas perubahan yang dilakukan perusahaan dapat diperbaiki dengan mempelajari petunjuk berikut:
1. Menjaga keterbukaan jaringan komunikasi
Para manajer diharapkan untuk selalu mengkomunikasikan tentang perubahan yang terjadi, alasan melakukan perubahan, serta manfaat yang ditawarkan atas perubahan tersebut.
2. Meminta partisipasi pemakai
Atas suatu perubahan yang terjadi hendaknya perusahaan meminta partisipasi semua pihak dengan memberikan saran guna mempermudah pengambilan keputusan.
3. Jaminan akan rasa takut
Perusahaan harus menyediakan jaminan yang memadai bahwa tidak ada penghapusan pekerjaan utama atau terjadi pergeseran tanggung jawab.
4. Menjelaskan tantangan dan peluang baru yang ada
Para manajer hendaknya selalu menjelaskan tentang tantangan dan kemungkinan peluang baru dari perubahan tersebut
5. Memeriksa kembali evaluasi kinerja
Standar dan criteria kinerja pegawai harus dilakukan evaluasi kembali untuk memastikan bahwa standard an criteria tersebut memuaskan dalam kerangka perubahan yang dibawa.
6. Menghindari emosionalisme
Isu-isu emosional yang berkaitan dengan perubahan harus ditangani dengan cara yang tidak konfrontatif atau lebih baik dengan cara menyingkirkannya.
Berdasarkan beberapa pendekatan yang telah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam suatu perubahan atas organisasi, manajer memiliki peran yang penting, manajer harus bisa memprediksikan hal-hal yang mungkin akan terjadi atas perubahan tersebut. Tidak hanya itu, atas hasil prediksinya manajer juga harus memiliki kemampuan yang baik untuk mengelolah perubahan guna menuju kesusksesan atas tujuan dari perubahan yang dilakukan.
Nice article...
BalasHapusJust for share, brgkali bisa sedikit menambah bahan bacaan mengenai business reengineering
Klik --> Business Proceess Reengineering Hallmark Card
JCB Casino CT App Review - Promo Code for $50 Free + $1K
BalasHapusJCB Casino 서산 출장안마 CT 익산 출장마사지 App review. 순천 출장안마 JCB Casino 서울특별 출장안마 CT offers new players a great selection 시흥 출장안마 of slots, table games, video poker, bingo, bingo,